Selasa, 01 Desember 2009

Tak Henti Mencari

Oh. Di tengah maraknya dunia digital yang ramai. Saya kemarin itu liat-liat lagi bukunya Ray Bachtiar yang judulnya Ritual Fotografi. Bukunya punya Iman, dibeli di Malang ketika Pimnas. Lembar demi lembarnya membuat tertegun saya ini. Kang Ray Bachtiar tidak pake embel-embel "Ray Bachtiar Art Photography" sebagai watermark. Tapi itu gambar-gambarnya sudah menjelaskan bahwa ada nilai seni yang mumpuni di situ. Lagi-lagi saya jadi malu. Malu sekali.
(dilanjutkan ke bawah)

(lanjutan dari atas)
Kolase digital saya seakan remuk ditandingkan dengan kolase kamar gelapnya Kang Ray. Pemahamannya akan simbol, warna, bentuk, atau garis tercermin di hampir setiap karya. Kematangan eksekusi juga tergambar jelas. Malu lagi kan saya.
(bersambung ke bawah)

(sambungan dari atas)
Dari buku itu pula saya diingatkan beberapa nama semacam Henri Cartier Bresson (kalau tidak salah sih begitu nulisnya), Man Ray dan Max Ernst. Mereka itu dalam karya-karyanya menjelaskan sesuatu yang tak mudah saya mengerti. Susah! Tak pelak saya jadi garuk-garuk ubun-ubun. Lalu saya liat-liat di internet, beberapa foto model (cantik?) yang cocok jadi gambar kalender. Banyak di antaranya itu saya liat punya semacam aura nafsu (tak ada hubungan apapun dengan aura kasih). Seolah-olah memang dibuat untuk mengundang (maap) birahi. Eksploitasi wanita? Bisa jadi. Dan setelah mengeksploitasi, melabeli fotonya dengan watermark namanya plus tambahan "art photography".

Sesudah rasa malunya sedikit surut, saya jadi mikir. Apa saya juga begitu ya? Jangan-jangan karena suka moto model, saya jadi mengeksploitasi mereka? Lalu mengagung-agungkan karya sendiri karena merasa punya nilai estetik yang tinggi? Oh semoga tidak. Karena saya pikir kalau pose-pose seksi dan menggoda itu terus-menerus yang ditawarkan, lama-lama orang juga muak liatnya.

Ah mudah-mudahan saya cepat sadar. Kamu juga.



Kalau benar ini pelangi, pasti bukan yang dulu.
Bukan yang merajah langit suram. Yang piawai meniupkan warna.
Ia sekarang tercemar asam. Kecoklatan dan tak sedap lagi.
Tak ceria inspirasi yang datang olehnya.
Mungkin sudah habis pesonanya. Dipreteli arogansi juga dengki.


Jatinangor, hari ini Selasa tertanggal Satu.

7 komentar:

  1. mau dong baca bukunya ka caca, masih awet di ka iman ga ya itu buku?

    BalasHapus
  2. Ah! jadi inget kemaren kamu bilang Ray Bachtiar itu fotografer analog dan digitel.
    hehe.
    aku jadi mikir kemaren dia pake embel-embel itu mungkin karena kesal sama si panitia yang ga mau kalah itu dan sekarang kalimatnya dia jadi keliatan wajar karena sesungguhnya dia memang keren.

    aku jadi ikut malu loh. mau belajar lagi ah.

    BalasHapus
  3. [uus] masih dongs.. minta aja us

    BalasHapus
  4. [uus] masih dongs.. minta aja us

    BalasHapus
  5. [napster] dan wkt diomongin gt, si ketua panitianya (mgkn) ga ngeuh dan ttp aja berargumen. haha..

    mau belajar lagi? hm. brati memilih utk jd "mediocre" spt mas seno. haha.. udh berkunjung ke alamat ini kan? http://sukab.wordpress.com

    BalasHapus
  6. [napster] dan wkt diomongin gt, si ketua panitianya (mgkn) ga ngeuh dan ttp aja berargumen. haha..

    mau belajar lagi? hm. brati memilih utk jd "mediocre" spt mas seno. haha.. udh berkunjung ke alamat ini kan? http://sukab.wordpress.com

    BalasHapus
  7. panitianya cuma hobi ngomong tanpa hobi denger.
    hehe.

    aku mau belajar baca yang baik dulu, karena kata Hitler "benar, mereka memiliki pengetahuan, tetapi otak mereka tidak mampu mengorganisasi dan mengelola materi yang telah mereka ambil. Mereka kekurangan seni mengubah apa yang benilai bagi mereka dalam sebuah buku dari apa yang tidak bernilai tanpanya."

    semoga kelak bisa menjadi pembaca yang baik. amin.

    BalasHapus