Jumat, 29 Juni 2012

Kebingungan Mencari yang Sudah Ada

"Jangan berhenti bermimpi", sebuah kalimat tua yang menurut saya "klasik" -tak lekang dimakan zaman- dan uniknya sering didengar keluar dari kaum muda. Muda, belum tua, energi dan semangat masih melimpah. Mahasiswa S1 yang tengah menjalani semester 3 atau 4, saya lihat masih menatap masa depannya dengan sangat optimis, merencanakan ini dan itu yang megah untuk hidupnya kelak. Tapi coba tanya pada mereka yang baru saja diwisuda,"Mau kerja di mana nanti?" Saya rasa sangat sedikit yang punya jawaban tegas dan (masih tetap) optimis, terkadang idealis. Sisanya? Berusaha terlihat tegas dan optimis, atau pesimis samasekali. Apa ini cuma terjadi di Indonesia?

Target, tujuan, cita-cita. Sudah akrab saya dengannya, dan sudah berulangkali kami berdialog. Sewaktu kelas 4 SD, kami memutuskan bahwa saya akan menjadi seorang kernet bus malam, yang (menurut saya saat itu) terlihat amat gagah karena ketika penumpang lain tertidur dan supir mengendarai bus, ia tetap berdiri memandang ke jalan di depannya. Kami mulai sering berbeda pendapat saat saya menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Berkali-kali kami bernegosiasi dan memutuskan, seolah keesokan harinya adalah Hari Akhir dan tak banyak waktu tersisa. Keputusan di akhir tahun ketiga SMP adalah, saya akan menjadi seorang ahli IT.

Ke mana impian menjadi ahli IT itu sewaktu saya di bangku SMA? Lenyap. Ia tergantikan oleh figur masa depan Arza Nursatya sebagai seorang ahli Special Effect sekaligus musisi. Dan lagi-lagi, ia menghilang ketika saya bertemu fotografi dan dunia periklanan. Mereka berdua amat memesona saya saat itu.

Barusan kami kembali bersua. Selayaknya kawan lama yang lama tak berjumpa, kami mengobrol amat akrab. Namun entah mengapa, tak banyak pembicaraan seputar hubungan kami. Justru, orang lain-lah yang menjadi topik pembicaraan. Mengapa seseorang membiarkan orang lain memilihkan cita-cita untuknya, padahal ia sendirilah yang paling mengetahui dirinya. Apakah alasannya penilaian objektif? Menurut saya, jika kita mampu menilai orang lain dengan objektif, berarti kita pun mampu berpikir objektif terhadap diri kita sendiri.

Sekarang, saya mulai menduga-duga setengah curiga. Jangan-jangan sahabat lama saya ini mengajak saya larut dalam obrolan mimpi orang lain bukan sekedar basa-basi, tetapi menyindir.

Glad to see you, old buddy!

- Dipati Ukur, 2012 -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar