1. Menyusuri Ketiadaan Ada

Arza Nursatya (AN) : Ketika menjalani setapak, tentu kau lihat ke bawah, eh, Murad?
Murad Braunn (MB) : (Sembari mengambil pemantik dari saku jas tuanya) Tentu. Tentu. Tapi kulihat juga langit, siapa tahu ada seekor elang.

AN : Elang? Mengapa bukan ramona? Atau seberkas akta rumah?
MB : Tatkala pagi, elang-lah yang kulihat. Tapi sepertinya ketika siang, elang itu menciut.
AN : Jadi tak pernah kau lihat ramona atau akta?
MB : Sesekali. Itu pun hanya ketika kau bercermin.
AN : (Menyalakan rokok)
MB : Kau ada, aku tidak. Kau ada, aku bukan ada.
AN : Kau di cermin. Kulihat kau tadi malam.
MB : Kau bercermin, Arza. Kau melihat pantulanmu. Kau bukan melihat dirimu.
AN : (Mengalihkan pandang dari Murad)
MB : Sekarang siang. Dan kau tak bercermin.
AN : Kau tak punya cermin. Yang kau punya adalah jas tua. Jas yang hanya untukmu.
MB : Tapi aku punya derita. Derita yang tak sepertimu. Haha.. Dasar kau manusia menyedihkan. (Masih terkekeh-kekeh)
AN : Hei! Jaga bicaramu! Setidaknya aku ingin punya labrador.
MB : Oh, jadi sekarang pembicaraannya beralih ke punya dan tak punya?
AN : (terdiam)
MB : Apa yang ada padamu, adakah itu?
AN : Aku yakin itu ada!
MB : (Mengambil rokok Arza Nursatya lalu membuangnya ke tanah) Pikirkan lagi.
AN : Apa? (Menginjak puntung rokok yang dibuang Murad)

Murad Braunn menghilang. Mungkin masuk ke dalam sisa tembakau diinjak Arza Nursatya. Mungkin juga, ia menyatu dengan senyuman sinis yang cenderung ambisius, senyuman Salvador Dali.



--------------------------------------------------------------
Jatinangor, 10 April 2010